“Apa yang akan terjadi di masa yang akan datang akan sangat tergantung dengan apa yang kita lakukan di masa sekarang” Mahatma Gandhi
Thailand, sang negeri gajah putih. Saya pertama kali mengenal Thailand ketika waktu saya kecil, ayah mengajak saya ke museum nasional, atau lebih populer dengan Museum Gajah, saya sempat bingung kenapa di sebut Museum Gajah. Ternyata ketika saya sampai di museum tersebut, kebingungan saya pun terjawab, tepat digerbang museum tersebut saya disambut oleh sebuah patung gajah yang terbuat dari perunngu , menurut catatan sejarah patung tersebut merupakan pemberian
Raja Chulalongkorn(Rama V) pada tahun 1871.
Sekarang saya diberi kesempatan mengenal Thailand lebih dekat untuk kegiatan
Chang(e) Caravan dan
pertemuan PBB tentang perubahan iklim, negara berpenduduk kurang lebih 65 juta orang ini, didominasi etnis Thai dan Lao ini dikenal sebagai bangsa yang memegang teguh kebudayaan dan tradisi, salah satu akar tradisi yang masih mereka pegang teguh adalah adalah penghormatan mereka terhadap Gajah. Gajah dalam Bahasa Thai dikenal dengan sebutan “CHANG”. Menurut penuturan
Pimjai Banlangpoh, Public Outreach Assistant Greenpeace Asia Tenggara- Thailand, gajah berjasa besar dalam membantu masyarakat Thailand mempertahankan kerajaannya dari serangan musuh-musuh di masa lampau, salah satu epos yang cukup terkenal adalah “pertempuran Yuthahathi” pada tahun 1592, Raja-raja Thailand dimasa lampau pun menggunakan gajah sebagai kendaraannya,hal ini semakin menempatkan gajah sebagai binatang yang sangat dihormati. Bahkan sampai sekarang Raja Thailand masih memilik gajah, dan gajah yang dimiliki kerajaan ini sangatlah istimewa, karena kulitnya berwarna putih. Karena itulah negeri ini dikenal sebagai negeri gajah putih. Namun, di disisi lain, Seiring dengan berjalannya waktu, meningkatnya populasi manusia , serta pembangunan yang semakin pesat, populasi gajah di Thailand pun sangat terancam, begitupula dengan gajah-gajah di belahan Benua Asia lainnya, seperti di Indonesia. Hal ini di sebabkan semakin tergerusnya ekosistem tempat dimana mereka tinggal, Hutan.
Hari ini saya pergi ke
“Ancient siam” di Samutprakan, sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Bangkok. Di kawasan wisata ini kita dapat mempelajari sejarah perjalanan masyarakat Thailand secara umum, dari utara hingga selatan Thailand. Secara singkat kita bisa belajar mengenai keragaman budaya mereka, arsitektur, interaksi sosial, serta tradisi mereka miliki, tradisi yang sungguh kaya dan mempesona. Kawasan ini bangun oleh
Lek Viriyaphant pada tahun 1963. Kawasan yang diakui sebagai museum terbuka tebesar didunia ini sangat ramai dikunjungi oleh anak-anak sekolah, pramuka, masyarakat umum, serta turis asing. Mereka sangat antusias mempelajari akar budaya leluhur mereka. Beragam bentuk arsitektur yang ada di seluruh belahan Thailand bisa kita jumpai disini, dari istana para raja, kuil, jembatan hingga warung tradisional, selain itu kita juga bisa melihat interaksi masyarakat Thailand yang sangat hangat lewat pasar terapungnya disini.
Pesona Ancient Siam semakin berwarna dengan hadirnya lima ekor “Chang” beberapa hari belakang, mereka adalah Tong Dang(25 tahun), Dok Kaew(38 Tahun), Kajapatara(13 Tahun), Chok Pra Tarn(45 Tahun), dan yang tertua adalah Lao Tang (47 Tahun). Gajah-gajah ini merupakan Bagian dari Kegiatan Chang(e) Caravan, sebuah kegiatan yang di-organisir oleh Greenpeace Asia Tenggara bekerja sama dengan tcktcktck.org. Kegiatan ini berlangsung sejak 12 September lalu dan akan berakhir pada tanggal 27 September kemarin. Chang(e) caravan bertujuan untuk Sekali lagi mengingatkan masyarakat dunia untuk segera melakukan tindakan nyata dalam menghadapi ancaman perubahan Iklim.
Ancaman ini telah membuktikan keganasannya lewat Badai Ketsana yang menerjang Filipina 27 September lalu, Badai yang menyebabkan Hujan selama 12 jam berturut-turut, telah merenggut lebih dari ratusan orang tewas, ini merupakan Badai terburuk yang menerjang Filipina dalam kurun 42 tahun terakhir.Kondisi ini membuktikan bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang paling rentan sekaligus yang paling tidak siap menghadapi ancaman perubahan iklim.
Kegiatan chang(e) caravan yang yang berakhir di Ancient Siam. Selama 15 hari kegiatan ini berlangsung, Chang(e) Caravan telah berhasil mengumpulkan jutaan suara yang setuju bahwa hutan-hutan di Asia perlu untuk segera diselamatkan, sebagai salah satu pilar penting dalam menghadapi pemanasan global, maka negara maju pun perlu terlibat dalam menyelamatkan.
“Menyelamatkan hutan sama artinya dengan menyelamatkan Iklim, dan menyelamatkan masa depan kita seorang MANUSIA.”
Tak hanya manusia dan makhluk hidup lainnya yang berada pada titik nadir dari ancaman perubahan Iklim, tapi juga karya dari umat manusia itu sendiri, yaitu kebudayaannya. kebudayaan yang coba
Lek Viriyaphant kumpulkan di Ancient Siam, adalah Sejarah yang coba ia titipkan kepada anak cucunya. Namun cita-cita
Lek Viriyaphant mungkin akan hilang tenggelam, seiring dengan tenggelamnya Ancient Siam akibat naiknya permukaan air laut, jika bumi ini dibiarkan terus memanas. karena menurut Tara Buakamsri, Manager Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Thailand, “Ancient Siam” berada digaris terdepan dari ancaman kenaikan air laut karena berjarak kurang dari 3 Km dari laut.
Akan kah kita membiarkan budaya di Asia Tenggara yang begitu kaya ini hilang tenggelam?gajah-gajah Asia hanya menjadi sejarah? Dan hutan-hutannya hanya menjadi legenda belaka?
Kawan! KITA Masih punya waktu, ayo kita buat perubahan sekarang!! Chang(e) is coming.
Khawp Khun Khrap
Didit Wicaksono
Solar Generation Coordinator
Greenpeace Asia Tenggara - Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar